Al Muhaafazhatu 'ala al Qadiimi as shaalih wa al akhdzu 'alal Jadiid al-ashlah - Melestarikan Tradisi dan Mengadopsi Modernitas...

Home ] Up ] Menu Hari ini ] Tentang Kami ] Saran ] Search ] Dewan Asatiz ]

Filsafat
 

News
Artikel
Cerpen
Kisah Teladan

 

ARTIKEL

bullet

Indahnya Berprasangka Baik

bullet Persepsi Kaum Santri tentang Filsafat dan Sains
bullet Falsafah Puasa
bullet Dari Ushul Fiqh ke Maqashid Syariah
bullet Dari Pondok Menggapai Mars

 

CERPEN

bullet

Empat Puluh Lima Menit

bullet Sang Jagoan
bullet Pria Idaman
bullet Untuk Bekas Kekasihku

 

Persepsi Kaum Santri tentang Filsafat dan Sains

SEKARANG ini di kalangan intelektual-santri banyak dibahas perlunya formulasi etika santri untuk selanjutnya disosialisasikan dalam kehidupan intelektual Islam guna menghadapi kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat dan kompleks. Harapannya, agar melalui etika santri itu, kaum intelektual Islam tidak mengalami deprivasi di tengah-tengah belantara modernitas keilmuan.

Dalam beberapa diskusi dan temu ilmiah, beberapa ciri dari etika santri telah diungkapkan, antara lain sikap cinta kebenaran, cinta pengetahuan, kosmopolitan, egalitarian dan lain-lain. Dalam kaitan ini, secara dramatis Dr Nurcholis Madjid mengatakan bahwa kecilnya kontribusi intelektual muslim Indonesia di tengah-tengah percaturan keilmuan Islam dunia ini antara lain karena etika santri telah meredup.

Jika cinta kebenaran merupakan etos kesantrian, lalu apakah bedanya dengan kaum filosof dan cendekiawan atau saintis lainnya?

***

SEJAK dulu, di kalangan kaum intelektual dikenal empat kategori kebenaran, yaitu (1) kebenaran inderawi, yang merupakan tingkat paling sederhana dan pertama dari pengalaman manusia; indera adalah gerbang kesadaran manusia, (2) kebenaran ilmiah, yang dicari untuk mengetahui kebenaran sesuatu dan menentukan obyek tertentu dengan jalan pengalaman (empirik) yang diolah pula dengan rasio secara teratur dan dengan metode tertentu, (3) kebenaran filosofis, yang dicari dengan jalan pemikiran yang mendalam dan murni sehingga melampaui batas pengalaman empirik, dan (4) kebenaran religius, yang diterima melalui wahyu atas dasar keimanan dan keyakinan (nalar religius) serta yang mempunyai kadar kebenaran yang absolut.

Perbedaan kaum santri, filosof dan saintis lainnya terletak pada cara menilai dan cara mencapai kebenaran tersebut.

Dr. Muhammad Ibrahim al-Fayumi, dalam mukadimah bukunya yang berjudul Al-Imam Al-Ghazali wa 'Alaqatu Al-Yaqin bi Al-'Aqli, antara lain menyatakan, bahwa ''hakikat kebenaran bukan lawan agama, bukan lawan filsafat dan juga bukan lawan sains. Di antara ahli agama ada yang bersikap memusuhi kebenaran, di antara para filosof ada juga yang memusuhi kebenaran dan demikian pula di antara saintis (ilmuwan) ada yang memusuhi kebenaran, baik semua itu secara sadar ataupun tidak sadar... Agama mencari kebenaran dan mendukungnya, meskipun ada sebagian ahli agama yang tidak menghendakinya. Filsafat juga mencari kebenaran dan mendukungnya, meskipun ada sebagian filosof yang mengingkarinya. Sains juga mencari kebenaran dan mendukungnya, meskipun ada sebagian ilmuwan yang tidak mengakuinya... Maksud dari semua itu adalah, bahwa agama tidak selalu identik dengan agamawannya, filsafat tidak selalu identik dengan filosofnya dan ilmu pengetahuan tidak selalu identik dengan ilmuwannya....''

***

PADA waktu Ibu Muqaffa', di era khalifah Al-Manshur (Abbasiyah) melakukan aksi translasi keilmuan, atau dengan istilah lain kerap disebut dengan Arabisasi keilmuan (penerjemahan buku-buku klasik dari Yunani, Persia, India dan lain-lain ke dalam bahasa Arab), mungkin dia tidak membayangkan sejauh mana dampak aksi translasi itu terhadap kehidupan intelektual Islam. Ia mungkin juga tidak menduga sejauh mana implikasi logika Aristoteles seperti dalam buku Categories yang diterjemahkannya itu akan mempengaruhi teologi Islam di kemudian hari.

Sebagaimana diketahui, pemikiran filosofis masuk ke dalam Islam melalui filsafat Yunani yang dijumpai para pemikir Islam di Suria, Mesopotamia, Persia dan Mesir, terutama setelah mapannya kekuasaan Abbasiyah. Pada era Umayyah, karena perhatian masih banyak tertuju pada kebudayaan Arab, maka pengaruh Yunani terhadap Islam belum begitu kelihatan. Pengaruh Yunani itu baru kelihatan pada zaman Abbasiyah, karena antara lain yang berpengaruh di pusat pemerintahan bukan lagi orang-orang Arab, tetapi orang-orang Persia, seperti keluarga Baramikah yang memang sudah lama berkecipung dalam kebudayaan Yunani (lihat Dluha Al-Islam, karya Ahmad Amin dan Islamic Culture karya A. Metz).

Perhatian pada filsafat memuncak pada zaman Al-Makmun (813-833) putra Harun Al-Rasyid. Para utusan dikirim ke Bizantium untuk mencari manuskrip yang kemudian dibawa ke Baghdad untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Untuk keperluan penerjemahan itu, Al-Makmun mendirikan Bait Al-Hikmah (Widya Graha) di Baghdad yang dipimpin oleh Hunain bin Ishak, seorang penganut agama Kristen yang berasal dari Hirah. Ia pernah pergi ke Yunani dan di sana belajar bahasa Yunani, di samping itu dia juga mengenal bahasa Siria yang di kala itu merupakan salah satu bahasa ilmiah. Sebagian besar karya Aristoteles, Plato dan buku-buku mengenai Neo-Platonisme diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Di samping karya-karya filsafat, terdapat juga buku-buku keilmuan lainnya, seperti kedokteran, kimia, matematika, fisika dan lain-lainnya.

Berkat gerakan Arabisasi inilah, umumnya kaun santri berkenalan dengan filsafat dan macam-macam bidang keilmuan. Melalui bahasa Arab ini filsafat dan sains banyak memasuki pesantren. Kitab-kitab ilmu kalam, manthiq, falak, hisab dan lain sebagainya sudah merupakan sahabat karib di kalangan kaum santri, dan dengan disadari atau tidak mereka telah lama bergumul dengan pemikiran filosofis dan saintik.

Memang di kalangan kaum santri dan ulamanya, respons terhadap filsafat dan sains bervariasi. Ada yang menolak dengan segala kecurigaan, ada yang menerima tanpa reserve dan begitu saja mengadopsinya tanpa melalui restriksi (pembatasan, penyaringan), dan ada pula yang memberikan apresiasi dengan tanpa melupakan seleksi kritis. Sikap kaum santri terhadap sains jauh lebih akomodatif dan tidak sekontroversial sikapnya terhadap filsafat, malah - sesuai dengan etika santri yang kosmopolitan itu - mereka telah menempatkan sains sebagai milik bersama, sebagai kebutuhan signifikan yang universal.

Di Chicago, Amerika Serikat, terdapat sebuah musium ilmu dan industri (Museum of Science and Industry) yang dianggap paling besar di dunia. Di dalamnya digambarkan bahwa perkembangan penelitian ilmiah itu diawali dari mesjid di Samarkand, dengan dasar anggapan bahwa dari masjid itulah sebenarnya universalisme ilmu pengetahuan dimulai. Al-Ghazali, meskipun cukup lama dalam mengritik filosof dan beberapa aspek filsafat, beliau sangat menyayangkan sikap sementara kaum santri yang menolak secara apriori terhadap sains yang ada kaitannya dengan filsafat atau yang berasal dari luar. (lihat Al-Munqidz min Al-Dlalal, karya A-Ghazali).

***

ADA sementara orang berasumsi, bahwa kaun santri begitu a priori menolak filsafat dan sains, bahkan Ahmad Hanafi, M.A. menuding golongan Ahlu Al-Sunnah sebagai musuh filsafat dan ilmu-ilmu yang ada kaitannya dengan filsafat (lihat Pengantar Filsafat Islam, karya Ahmad Hanafi, M.A.).

Pendapat semacam itu kami kira kurang tepat, apalagi kalau dilihat dari kacamata sistematika filsafat itu sendiri, yang tidak hanya membahas masalah-masalah ontologis (yang menyangkut hakikat wujud), tapi juga membahas masalah epistimologis (teori ilmu pengetahuan) dan axiologis (tata nilai, moral conduct, esthetic expression dan socio-political life). Umumnya para ulama Ahlu Al-Sunnah dan kaum santri menaruh beberapa keberatan pada bahasan ontologis, sedang tentang bahasan epistomologis dan axiologis banyak yang diterimanya. Al-Asy'ari sebagai pelopor gerakan Ahlu Al-Sunnah, demikian pula Al-Maturidy, dalam menyusun konsep teologisnya (ilmu kalam) tidak menolak menggunakan kategori filsafat, demikian juga dengan Al-Ghazali dalam konsep etikanya.

Ibnu Al-Shalah, memang termasuk salah seorang yang sangat keras menolak filsafat dan menganggapnya sebagai pokok kebodohan dan sumber penyelewengan, bahkan pemakaian istilah-istilah ilmu manthiq dalam ilmu syari'ah dipandang sebagai kemungkaran. Tetapi, sikap Ibnu Al-Shalah yang demikian keras itu tentu ada kaitannya dengan fenomena sosial keagamaan pada masanya, seperti sikap sementara filosof Islam yang meragukan adanya sorga, neraka dan hari kebangkitan (yaum al-ba'ts).

Hal demikian lebih jelas lagi pada Al-Ghazali, dengan kitab Tahafut Al-Falasifat mengritik pandangan ontologi dan kosmologi kebanyakan filosof muslim masa itu, yang dianggap secara substansial sudah menyimpang dari ajaran Islam yang fundamental, seperti pandangan filosof yang mengatakan bahwa Allah itu ilmunya terbatas pada masalah global yang tidak terinci dan lain-lainnya.

Namun, pada sisi yang lain Al-Ghazali menggunakan dialog-dialog filosofis (pakai cara-cara filsafat) dengan segala induksi, deduksi dan argumentasi rasional. Dalam masalah epistimologis, dengan berani Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan dalam dua golongan, yaitu al-'ulum al-syar'iyah dan al-'ulum ghairu syar'iyah dan menguasai al-ulum ghairu syar'iyah itu dihukumi fardlu kifayah bagi umat Islam selama ilmu-ilmu tersebut tidak termasuk kategori ''al-madzummah'' (ilmu yang tercela). Di antara ilmu-ilmu yang harus dikuasai oleh umat Islam itu menurut Al-Ghazali adalah kedokteran, teknik, matematika, ekonomi, dan politik (lihat Ihya' 'Ulumuddin, karya Al-Ghazali).

Dalam kitabnya yang berjudul Tahafut Al-Falasifat, beliau membuat kritik tajam terhadap duapuluh masalah, yang sebagian besar berkaitan dengan konsep metafisika, masalah teologis dan beberapa masalah kosmologis, sedangkan masalah keilmuan tidak ada kritik yang berarti.

Ibnu Khaldun, dalam pandangannya terhadap filsafat dan sains tidak terlalu jauh dengan Al-Ghazali. Dia lebih melihat kelemahan filsafat sebagai upaya spekulatif dalam melihat dan menginterpretasikan masalah-masalah yang di luar tugas dan jangkauan fungsi akal manusia, di mana tugas yang demikian menjadi garapan wahyu bukan garapan akal. (lihat Al-Muqaddimah, karya Ibnu Khaldun, khususnya dalam pasal ''ibthal al-falsafat'').

Sekarang, kaum santri dan para ulama tampaknya lebih akomodatif lagi terhadap filsafat dan sains, dalam arti yang lebih luas (bukan filsafat dalam arti ontologi semata). Dalam kehidupan pesantren, ilmu manthiq, hisab, falak, jughrafi, ilmu kalam, tasawuf, sampai ilmu teknik sudah diterima sebagai bagian yang menyatu dengan kehidupannya sehari-hari. Oleh karena itu, tidaklah aneh jika komputer sudah harus menjadi bagian dari kehidupan pesantren di samping kitab kuning dan tasbih. Dan mempelajari ilmu komputer akan mendapat hukum fardlu kifayah sebagaimana generasi sebelumnya, karena termasuk kategori ilmu yang ''al-mahmudah'' (ilmu yang terpuji). Demikianlah, Wallahu A'lamu Bishshawab.

Information Request Form

Select the items that apply, and then let us know how to contact you.

Send product literature
Send company literature
Have a salesperson contact me

Name
Title
Company
Address
E-mail
Phone

 

 

 

 

 

 

 

 

KISAH TELADAN

bullet

Kisah Lima Perkara Ajaib

bullet Berkat Membaca Bismillah
bullet Kisah Bumi dan Langit
bullet Kelebihan Puasa pada 10 Muharram
bullet Batu-batu Aneh
bullet Seorang Anak Membangkang Perintah Ayah
bullet Hikmah Berbakti Kepada Kedua Ibu Bapak

 

Sepenggal kalimat tentang MALNU, klik di sini

 

Home ] Up ]

Send mail to religiusta@softhome.net with questions or comments about this web site.
Copyright © 2004 Mathlaul Anwar Li Nahdlatil Ulama