Al Muhaafazhatu 'ala al Qadiimi as shaalih wa al akhdzu 'alal Jadiid al-ashlah - Melestarikan Tradisi dan Mengadopsi Modernitas...

Home ] Up ] Menu Hari ini ] Tentang Kami ] Saran ] Search ] Dewan Asatiz ]

Menggapai Mars
 

News
Artikel
Cerpen
Kisah Teladan

 

ARTIKEL

bullet

Indahnya Berprasangka Baik

bullet Persepsi Kaum Santri tentang Filsafat dan Sains
bullet Falsafah Puasa
bullet Dari Ushul Fiqh ke Maqashid Syariah
bullet Dari Pondok Menggapai Mars

 

CERPEN

bullet

Empat Puluh Lima Menit

bullet Sang Jagoan
bullet Pria Idaman
bullet Untuk Bekas Kekasihku

 

Mereka Sudah Sampai Mars,

Sementara Kita?

 

Neni Utami Adiningsih

Ach... mereka sudah sampai di Mars, sementara kita...? Itulah gumam spontan saya (dan mungkin juga yang lain) ketika mencermati informasi di harian ini edisi 5 Januari yang mengulas keberhasilan Rover Spirit, sebuah wahana robotik geologis beroda enam yang berhasil mendarat di planet Mars pada hari Minggu (4/1) pukul 04.35 GMT atau pukul 11.35 WIB. Mengawali perjalanan dari stasiun milik Angkatan Udara AS di Cape Canaveral, sejak 10 Juni 2003 lalu, wahana tersebut menempuh perjalanan panjang sejauh 487 juta kilometer selama 7 bulan, sebelum kemudian 'berhenti' di Gusev Crater, sebuah kawah raksasa, yang ditengarai sebagai bekas danau purba.

Keberhasilan pendaratan Rover Spirit, yang ditengarai dari diterimanya sinyal dan foto-foto tentang planet merah yang dikirimnya, sontak membuat 250 ilmuwan dari Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) melompat kegirangan. Bukan reaksi yang berlebihan bila melihat besarnya upaya yang harus mereka lakukan. Terlebih, tidak banyak negara yang mampu melakukannya. Selama 40 tahun terakhir, setidaknya telah ada 30 misi ke Mars. Dari jumlah tersebut hanya 12 misi yang berhasil.

Bagi Amerika Serikat, sesungguhnya Rover Spirit juga bukan wahana pertama mereka yang berhasil menjelajah di Mars. Pada tahun 1976 mereka telah mendaratkan Viking dan di awal 1990-an berhasil mendaratkan Pathfinder. Namun demikian keberhasilan Rover Spirit ini dirasa penting sebab secara 'diam-diam' saat ini sedang terjadi persaingan antara Amerika Serikat, Rusia, negara-negara Eropa, Jepang bahkan Cina untuk menjadi yang paling dominan 'menguasai' Mars. Berhasilnya Rover Spirit telah membuat Amerika pada posisi dominan. Apalagi wahana Inggris yang diluncurkan Badan Antariksa Eropa (ESA) yaitu Beagle 2, yang seharusnya mendarat di Mars pada hari Natal 2003 lalu, ternyata hingga kini belum mendarat juga. Sebelumnya misi Jepang yang bernama Nozomi, juga gagal mencapai Mars karena hempasan badai Matahari telah merusakkan peralatan elektroniknya.

Keberhasilan Rover Spirit tersebut kian menyempurnakan status adidaya yang dimiliki Amerika Serikat, mulai dari politik, ekonomi, pendidikan, hingga sains, sementara kita...?

Di saat beberapa negara mulai 'menjelajah' ruang angkasa, hal yang bertolak belakang justru terjadi di negara kita. Satu-satunya pabrik pesawat terbang yang pernah kita banggakan, PT Dirgantara Indonesia (Bandung), malahan semakin tidak jelas eksistensinya. Jangankan menciptakan pesawat terbang canggih (apalagi pesawat ruang angkasa), untuk membayar karyawan pun sudah tidak mampu, yang pada gilirannya memicu terjadinya beberapa kali aksi bentrok di antara karyawan PTDI.

Di saat negara lain sudah mulai berpikir bagaimana caranya mengisi hidup ini dengan kualitas yang semakin baik, kita masih berkutat pada pemikiran bagaimana untuk hidup pada hari ini. Kita masih bingung dengan setumpuk masalah yang itu-itu saja, yang membuat kualitas hidup kita kian hari justru semakin memburuk. Anak-anak yang kelaparan, sakit-sakitan dan tidak berpendidikan. Bencana yang terjadi setiap saat. Keamanan yang kian tidak terjamin. Kriminalitas yang kian menyeramkan. Kualitas keluarga yang makin merosot.

Dalam acara yang bertajuk "Gambaran Perekonomian Indonesia 2004" (Jakarta), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memprediksikan bahwa di tahun 2004 jumlah pengangguran terbuka (sama sekali tak bekerja) akan meningkat menjadi 10,7 juta orang dari sebelumnya (2003) sebesar 9,5 juta. Angka pengangguran itu bakal membengkak bila ditambah dengan jumlah pengangguran setengah terbuka (bekerja di bawah 35 jam per bulan) yang diprediksikan berjumlah sekitar 28,93 juta orang, merupakan 27,5 persen dari total angkatan kerja.

Angka-angka yang lebih mengkhawatirkan dikeluarkan oleh beberapa lembaga kajian lain. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) misalnya, mengungkapkan bahwa di tahun 2003 saja jumlah pengangguran terbuka sudah mencapai 10,3 juta, meningkat 1,2 juta dari tahun sebelumnya (2002). Dalam hal angka pengangguran setengah terbuka, Pusat Studi bagi Buruh dan Pembangunan (CLDS) mengungkapkan bahwa di tahun 2003 saja sudah mencapai 40,2 juta jiwa, padahal di tahun sebelumnya (2002) 'baru' 39 juta jiwa. Dengan kondisi seperti ini, tak pelak bila kian hari semakin banyak saja penduduk yang masuk kategori miskin.

Kerasnya upaya untuk sekadar bisa hidup pada hari ini, masih diperberat dengan aneka masalah klise. Ketika musim hujan misalnya, bencana banjir menjadi masalah yang seolah-olah 'wajib' terjadi. Rasanya belum terasa masuk musim penghujan bila belum ada berita banjir. Saat ini saja, di mana curah hujan belum mencapai puncaknya, banjir sudah terjadi di mana-mana. Mulai dari Aceh, Medan, Jambi, Palembang, Riau, Jakarta, Bekasi, Tangerang, Bandung, Sukabumi, Cilacap, Muria, Semarang, Malang, Pontianak, Palangkaraya, Palu, Donggala, dan masih banyak lagi. Dan belum lengkap rasanya bila tidak disertai berita tentang tanah longsor. Peristiwa terakhir terjadi di Majalengka yang menewaskan seorang ibu beserta tiga anaknya.

Hal sebaliknyalah yang terjadi ketika musim kemarau tiba. Rasanya belum memasuki musim kemarau bila belum melihat orang yang berbondong-bondong membawa aneka wadah ke mata air yang untuk mencapainya perlu waktu berjam-jam. Sementara untuk mengambil air dari sungai, tidak lagi mungkin seiring dengan semakin banyak dan parahnya pencemaran yang terjadi. Sementara mengandalkan pada Perusahaan Air Minum (benarkah?) semakin muskil saja. Bukankah bahan bakunya juga dari mata air dan sungai. Kalaupun bisa mengambil dari air tanah, semakin sulit mendapatnya. Saat ini saja, di Kota Bandung diindikasikan bahwa 22 dari 26 kecamatan yang ada sudah termasuk kategori krisis air. Hal itu ditandai turunnya permukaan air tanah dalam statis hingga 2-3 meter/tahun (Pikiran Rakyat, 7/1/04)

Bila ditinjau dari sudut ilmu pengetahuan, kondisi di atas mencerminkan bahwa begitu rendahnya kepedulian dan pemanfaatan iptek dalam keseharian kita. Mengapa demikian? Mudah saja. Bukankah kedua masalah (banjir dan kekeringan) tersebut sesungguhnya mudah diprediksikan. Banjir di Sumatera misalnya, mengacu pada hasil pantauan satelit cuaca, sudah diprediksi akan terjadi, dan jauh-jauh hari Badan Meteorologi dan Geofisika, sudah memperingatkan hal tersebut. Tapi apa nyatanya? Tidak ada atensi apalagi upaya yang nyata untuk mengantisipasinya. Sehingga terjadilah bencana banjir seperti yang saat ini sedang berlangsung.

Pencegahannyapun sesungguhnya juga mudah. Hanya berbekal pada kepedulian akan keseimbangan lingkungan. Namun di sinilah justru masalahnya. Karena kenyataannya, masyarakat kita sangat tidak peduli lingkungan. Data terakhir memperlihatkan bahwa sudah 43 juta hektare hutan yang rusak. Kondisi ini kian diperparah dengan tingginya laju deforestrasi yang dalam 10 tahun terakhir mencapai 1,6 juta - 2 juta hektare (Pikiran Rakyat, 5/6/02). Ironinya, beberapa hari lalu justru terjadi aksi kompak dari beberapa gubernur di Kalimantan untuk menolak penentuan kuota penebangan kayu. Padahal hasil citra satelit memperlihatkan bahwa hutan di Kalimantan tinggal 20 persen. Tidak aneh bila kian tahun semakin luas saja daerah di Kalimantan yang terkena banjir.

Sungguh tidak bisa dibayangkan, bagaimana jadinya bangsa ini bila berada di kawasan yang mempunyai empat musim. Bisa dipastikan keseharian kita hanya disibukkan upaya 'meng-hadapi' bencana, mulai dari banjir, kekurangan air, longsor, badai salju hingga tornado. Tidak lagi sempat beraktivitas. Artinya semakin miskin dan bodoh saja kita.

Di saat negara lain sudah tidak lagi sekadar ingin menambah pengetahuan tentang luar angkasa, namun sudah memasuki fase ingin mencari jejak kehidupan dan kalau perlu membuat koloni (di Mars misalnya), bangsa kita masih berkutat 'mencari jejak korupsi' akibat begitu banyaknya 'koloni' (koruptor) baru yang terbentuk. Di penghujung tahun 2003, kepolisian berhasil membongkar kasus pembobolan dana masyarakat senilai Rp 1,7 triliun yang tersimpan di Bank Nasional Indonesia (BNI) sedangkan kejaksaan dalam waktu yang bersamaan juga sedang mengusut kasus pembobolan Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang diduga merugikan keuangan negara ratusan miliar rupiah.


Perbaiki Diri

Yang sangat memprihatinkan, 'koloni' tersebut ditengarai juga 'berhasil' di bentuk di Departemen Agama, sebuah ranah yang semestinya steril dari koloni korupsi. Kasus dugaan penyimpangan termutakhir bahkan melibatkan Menteri Agama Said Agil Husin Al Munawar dan adiknya Fahmi Alwi Al Munawar, berkaitan dengan pelaksanaan ibadah haji yang kisruh. Kasus ini semakin memperpanjang deretan kasus KKN yang terjadi di lingkungan Departemen Agama (Suara Pembaruan, 5/1/04). Dengan kondisi seperti ini, tidaklah aneh bila predikat sebagai salah satu negara terkorup masih terus melekat. Tahun ini, survei Transparency Internasional menobatkan Indonesia sebagai negara paling korup nomor enam dari 133 negara.

Sangat gamblang bahwa dalam banyak hal negara kita tertinggal dari negara lain. Haruskah hal ini dibiarkan? Semestinya tidak. Untuk itu langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan berbesar hati 'mengakui' bahwa negara kita ini tertinggal, miskin, bodoh, korupstor, tidak peduli lingkungan dan sebagainya. Selama ini pengakuan inilah yang tidak ada. Yang ada hanyalah upaya membela diri, upaya menyalahkan pihak lain serta upaya mema-nipulasi puja-puji dari sana sini. Dan hasilnya? Kualitas hidup kita yang semakin carut- marut.

Dengan keberanian 'mengakui' kekurangan tersebut, akan timbul 'spirit' bahkan tuntutan untuk memperbaikinya. Bila kondisi ini sudah terwujud, yakinlah bila korupsi, kebodohan, ke-miskinan, kerakusan pada lingkungan, dan aneka hal negatif lain akan dengan mudah dikikis yang pada gilirannya akan memperbaiki kualitas hidup kita. Ini artinya, tidak tertutup kemungkinan kelak, kitapun akan bisa mendaratkan 'Spirit' dimanapun yang kita mau, tidak sebatas di Mars. Bila sudah demikian, dijamin tidak akan ada lagi gumam 'ach... mereka sudah sampai di Mars, sementara kita...?'

Neni Utami Adiningsih, ibu rumah tangga yang sangat berminat pada masalah sosial kemasyarakatan. Sarjana Elektro dari Fak Teknik Universitas Brawijaya Malang, Magister di bidang sistem kendali (satelit) dari Institut Teknologi Bandung.

Menes, Tuesday, 24 February 2004

 

 

 

 

 

 

 

 

KISAH TELADAN

bullet

Kisah Lima Perkara Ajaib

bullet Berkat Membaca Bismillah
bullet Kisah Bumi dan Langit
bullet Kelebihan Puasa pada 10 Muharram
bullet Batu-batu Aneh
bullet Seorang Anak Membangkang Perintah Ayah
bullet Hikmah Berbakti Kepada Kedua Ibu Bapak

 

Sepenggal kalimat tentang MALNU, klik di sini

 

Home ] Up ]

Send mail to religiusta@softhome.net with questions or comments about this web site.
Copyright © 2004 Mathlaul Anwar Li Nahdlatil Ulama