|
|
SANG JAGOANTaufiq Munir Ahmad Syaubari Nah, sebentar lagi aku akan keluar dari kamar kecil ini untuk mengembalikan kepercayaan mereka kepadaku. Biar aku bujuk mereka biar dengan lapang dada menerima sebagai beking yang mempermulus jalanku menghadap pak Himawan, direktur sekaligus pimpinan perusahaan ini. Tugas sekarang ialah melakukan beberapa prosedur sebagaimana mestinya. Secara kilat kusisir rambutku. Kumis aku ratakan, kutuangkan beberapa tetes cologne kebanggaan agar wanginya mengapung di udara ruangan, semerbak menarik perhatian. Walah, sulit benar urusan ini. Benar-benar merepotkan. Tapi tidak juga, toh alhamdlillah roman mukaku tetap berseri-seri. Kulitku putih, mataku kebiruan, rambutku kemerahan. Dan kumis ini.... Hm. Bodiku sendiri kekar, tubuhku atletis. Ini dia kaca cermin biar dia yang memastikan bahwa aku tiada cela sedikutpun dan mengatakan secara terus terang bahwa semua kecemasan yang menyergapku pasti akan segera berakhir. Dalam peperangan ini mister Himawan tak mungkin berlagak. Dalam peperangan semua orang di perusahan ini bakal nyaho bahwa Sumo Rainin, Dirut satu-satunya yang strong man, The Right Man in the right degree! Biar kubetulkan tali dasiku. Mereka juga harus tahu, dasi baru tipe Jack Part model mutakhir. Harganya dengan sapu tangan ini lima poundsterling atau sepuluh ribu rupiah! Pagi tadi aku lihat noda tetesan minyak di dasi pak Himawan. Aku yakin, pasti itu minyak sayur saat ia sarapan pagi campur sambal. Sepanjang hidup aku belum pernah melihat pimpinan perusahaan kolot berbusana miskin feeling mengikuti mode seperti pak Himawan ini. Perusahaan dagang Asia-Amerika sampai kehilangan reputasinya di pasaran lokal dan dunia karena kedunguan kepala direksinya sendiri. Kata orang, pak Himawan itu orang terpelajar, intelek, dan doktor dalam bidang ekonomi. Omong kosong! Ekonomi nasional tak akan mengalami devaluasi seperti ini kalau bukan karena doktor-doktor goblok yang tak mengerti hidup. Pengalaman ilmiah malah akan menimialisir human interest dengan segala situasi dan konsisinya. Guoblok. Jangan-jangan mereka lebih bodoh dari binatang dalam urusan publik relation padahal itu adalah ruh kerja bidang perdagangan. Aku juga intelek yang pernah dapat bachelor perdagangan dan bisnis, tapi aku tak pernah menyia-nyiakan akal warasku dengan setumpuk teori dan studi akademik. Belanda dan Jepang tak pernah menjajah Nusantara dengan tetek bengek teori dan para doktor ekonomi. Mereka menguasai Asia Tenggara karena kemilau mutiara warna-warni dengan jamrud katulistiwanya yang lantas menyihir Asia, kemudia mereka menyerahkan tanah airnya menyambut mutiara yang hilang itu. Aku tahu kepentingan perusahaan, aku mengerti pasar. Tak kan kubiarkan orang seperti doktor Himawan ini merampas pekerjaan yang telah kududuki selama lima belas tahun! Akan kupertaruhkan terus. Aku sudah kepalang mengalami kesusahan dan hina dina di atas kemampuan orang lain agar pekerjaanku berhasil. Aku selalu menjadi orang bersih dan terhormat dan lebih dari itu aku termasuk orang yang selalu elegan dan karismatik yang bisa dilirik perusahaan manapun dan level manapun di dunia. Ketika aku tengah berada di Eropa, banyak orang bule bertanya kepada saya: apakah anda orang Amerika? Anda asli Jerman? Tentu saja ketika itu saya jawab: "saya putra Indonesia, mister". Penghargaan yang luar biasa besar bagi perusahaan dan negeriku. Tapi aku harus membayar mahal dan amat menyakitkan akan gaji yang kubelanjakan untuk penampilanku ini. Sampai-sampai para komisi yang berpengaruh harus histeris menyimpan hipokrasi. Kemana aku pergi? Aku tak punya mobil apalagi rumah. Benar. Aku memang punya rumah mewah, tapi itu hanya untuk kebutuhan dinas. Aku yang mengadakan pesta-pesta coctail bagi semua karyawan perusahaan dan pedagang-pedagang tambahan ke pesta-pesta besar di rumahnya. Rupanya pak Himawan bermuka tembok. Sebagai kepala perusahaan tak ada seorangpun yang memasuki rumahnya walau hanya sekali. Tak seorangpun meminum secangkir kopi bersamanya baik rumahnya atau di sebuah bar. Pelitnya minta amplop. Aib terang-terangan yang tak mungkin berhenti begitu saja dari sekarang. Ala kulli hal, kepemimpinan perusahaan silih berganti dipegang oleh lima kepala komite administrasi selama lima tahun ini. Diantaranya ada yang pergi lantaran hubungannya dengan perusahaan-perusahaan besar di pusat, yang satu lagi hengkang karena beredar isu sekitar kebangkrutan perusahaan pusat hingga mencapai titik pailit, ada juga yang "pergi" selamanya ke rahmatullah. Macam-macam. Tapi, mereka, anehnya sangat mempercayaiku. Bahkan seolah-olah menganggapaku tulang punggung mereka. Dan aku sendiri selalu menjadi asisten yang mengharapkan kerja dan menguasai perusaan besar dan kecil karena memang mereka berotak cemerlang yang memiliki ide-ide jitu. Maka siapa yang melihatnya lebih baik dariku baik tampang, wibawa, penampilan atau prestasi? Aku tak pernah mengganggu mereka dengan satu patah katapun. Kadang-kadang mereka tanya perihal tugasku. "Semua baik-baik saja, tuan". Kadang-kadang mereka tanya soal neraca perdagangan "kita akan mengeruk laba lebih besar dari pada kemarin, tuan". Aku sendiri yang menanggung semua masalah. Aku yang menghadapi berbagai krisis. Semua baik, kadang-kadang waktu itu enggan mengekspor surat asuransi untuk para karyawan, impor barang terlambat atau kesepakatan dibatalkan. Aku tak akan mengusik mereka. Aku tak akan membuat mereka lebih berantakan. Dengan tenang aku bergabung bersama mereka. Saya katakan bahwa keadaan baik-baik saja. Aku pergi ke bank seorang diri, mengenakan jas Pierre Cardin, dasi Christian Dior dan sapu tangan termahal yang pernah aku miliki yang tak beda dengan kemeja mentereng warna hijau dengan garis-garis hitam yang saya beli di Oston Ride di Regent Street, toko mewah dan termahal di London. Toko yang pernah dimasuki Umar Syarif, Richard Borton dan aktor-aktor dunia saat belanja pakaian. Saya juga mengenakan cologne Boulevard yang pernah saya beli pertama kali di Orley, Paris. Di saku sudah aku kantongi Havana "Mount Christo" rokok yang harganya lima ribu Rupiah perbatang. Untuk kewaspadaan aku bawa senjata modern dengan macam-macam tipe, teknologi canggih yang sudah aku raih sekarang ini. Tentu saja, perlawanan direkturpun runtuh sudah. Dia memandangku dengan bangganya. Saya mendekat dan merendah-rendah di hadapannya. Aku tahu sikapku ini menyenangkan tipuannya. Maksud saya, kedermawanan yang meminta hidupnya lebih besar dan agung daripada yang ia lihat pemacu kuda anggun sepertiku yang hampir saja mencium tangannya. Begitulah, urusan terus berjalan bersama pengalaman dan koneksi. Bukan dengan buku, teori, statistik ataupun agenda-agenda. # Alhamdulillah aku berhasil menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan kepercayaan dengan caraku sendiri di berbagai (puluhan) acara. Kutanggung sendiri siksa dan kepedihan. Kutenangkan jiwaku sebab aku tak ingin perusahaan mengalami pailit. Hatiku memang menangis, pernah suatu kali aku keluar menelan pil penenang agar aku bisa tidur ketika semua pimpinan perusahaan tengah pulas tidur dan mengeraskan dengkurnya. Mereka tidak peduli aku menahan siksa yang aku alami. Hidupku masih tetap merana, roda kehidupan telah meluluhkanku tiap hari. Aku coba mencari model-model lain, merendah-rendah, penuh basa-basi, hipokrisi setiap orang yang bangun dan baru merangkak. (mereka para konglomerat). Pekerjaanku malah bertambah di atas kemampuanku sendiri. Gaji tak cukup, komisi tak meluluskanku. Komisi terakhir dari kesepakatan Geot, saya menumpang kendaraan boutique yang harus kutanggung senilai 18.000 pound. Seharusnya aku gunakan mobil Amerika terbaru agar aku bisa mengkondisikan diri untuk tetap melayani para investor baru yang mulai meragukanku. Selalu mondar-mandir datang padaku waktu pembukuan. Aku tak bisa menggiring mereka ke mobil Timor lagi. Jelas ini aib besar… dan membahayakan reputasi perusahaan, terutama karirku. Siasat bisnis yang baik dengan memuji kendaraan investor Amerika bahwa kita mengagumi mobil dan semua benda-benda berharganya untuk memotivasi mereka memasukkan koceknya ke dalam proyek-proyek raksasa di negeri ini. Pemandangan seperti ini menjadi sangat penting, tanpa ini kerja tak akan ada hasilnya. Beberapa karyawan sampai merasa perlu untuk menulis pengaduan pada yang berwenang hanya karena WC yang bersebelahan dengan ruang kantorku. Bodoh, dungu, terbelakang! Apakah kalau ada tamu asing yang menanyakan toilet lantas saya harus pergi ke tempat buang air kecil dengan menutup hidung, di tempat mereka kencing di atas lantai yang menyerbakkan bau mematikan? Kalau kebetulan hidung tamu asing itu tidak menderita asma barangkali ia tak akan kembali lagi selama-lamanya karena faktor yang sangat sederhana: ia sudah mati, terbunuh bau pesing! Mereka rupanya tidak tahu kalau porselin kamar mandi warna hijau ini impor dari Italia, cermin buatan Belgia, bath tub dari Hongkong, shower berbentuk gagang telpon saya datangkan langsung dari Ciprus. Pemanas air saja sengaja saya bawa dari pabrik industri perang. Hanya untuk kamar mandi ini? Tak mengapa. Kalau saja orang-orang dungu itu tahu rahasia bisnis, sudah pasti mereka akan segera membangun kamar mandi persis kamar mandi bilqis, ratu dari Saba, khusus buatku. Di sinilah pusat kendali tugas-tugas utama perusahaan. Dari sini pula aku akan segera keluar untuk menggelar langkah awal untuk mengkudeta pak Himawan. # Ketika duduk pertamakali di kursi pimpinan sejak delapan bulan yang lalu, ia sudah berangan-angan hendak melakukan semua apa yang pernah dilakukan lainnya. Hanya karena kehadiran saya, saya sudah menguasai perasaannya. Saya kalahkan dia sebagaimana saya kalahkan orang lain. Ia tanya keadaan perusahaan. "Beres, tuan!" jawab saya tegas. Beliau bilang ada bisik-bisik bahwa ada masalah keuangan yang tak beres. Saya jawab "itu cuma isu, tuan. Perusahaan pada waktunya akan mencapai rekor laba terbesar. Atau setidaknya dalam kendali di bursa efek. Saya berbincang-bincang dengannya, saya berdiri dengan penuh tatakrama. Suara saya kontrol agar terkesan lembut, sopan dan dengan kerendahan hati. Kertas terjatuh dari tangannya, saya dengan sigap menunduk hingga seolah kepala saya menyentuh sepatunya. Saya keluarkan kertas dari kedua telapak kakinya dan saya serahkan dengan kedua tangan dan kepala dirapatkan ke siku. Saat hendak keluar dari kantor, saya sudah berdiri di ambang pintu, saya berjalan di belakangnya sebagai penghormatan hingga pintu lift, saya turut bersamanya hingga pintu perusahaan, saya bukakan pintu mobil Volks miliknya, saya menunduk penuh kehormatan, saya panaskan seperti listrik yang memanaskan batterai kosong dengan emosi kekuasaan dan otoritas atas seseorang, dan semua orang pun akhirnya menyerah. # Tapi dua bulan belakangan ini ada beberapa tuntutan-tuntutan aneh: data statistik dari transaksi perdagangan perusahaan, announcemen tentang komisi, sekelompok akuntan merasa perlu melakukan reevaluasi skala dan perhitungan neraca dalam waktu dekat ini. Saya jawab: "tuan, jangan sibukkan diri sendiri. Tenanglah". Tapi sungguh mengherankan, dia berangkat sendiri ke direktur bank. Tahulah ia bahwa transaksi perusahaan rusak, dan keadaan keuangan mengalami nasib buruk. Sekuat tenaga saya jawab terus terang, "tuan, biar urusan ini saya yang tangani. Ini memang kebiasaan direktur bank dalam melukiskan keadaan. Saya sudah terbiasa berbicara dengan mereka. Saya tahu bagaimana memberi pengertian kepada mereka. Kalau kita masuk bersama mereka, dalam dialog, diskusi dan studi keadaan akan morat-marit dan akan bertambah parah". Beliau memandangku penuh selidik, "Ya, dan kaulah penyebabnya!" Oh Tuhan. Apa yang harus aku lakukan? Air mata berlinang di mataku setelah aku merasakan kepenatan hidup untuk menyelamatkan perusahaan dan tibanya hari naas ini. Benarkah aku penyebabnya? Tentu saja air mataku mulai mengusiknya. Beliau berdiri dan memegang pundakku dan mengatakan bahwa ia tidak bermaksud menyakitiku. Tapi apa maknanya apologi semacam itu bila kapak tepat mengenai kepalaku? Saya keluar, pergi ke kamar mandi dan membetulkan pendirianku yang nyaris oleng, kemudian kutinggalkan perusahaan. Saya melewati departeman dan terpaksa mampir. Saya ingin menghadap pak menteri. Kebetulan waktu itu saya pernah ada kesempatan bertemu pak menteri di bandar udara Orley selama seperempat jam dan menyodorkan diri di hadapannya. Beberapa dasi mahal miliknya saya beli. Ia terkagum-kagum hingga ketika saya bayar seharga yang ia inginkan, dia memberi satu buah dasi yang tak kalah bagusnya sebagai bonus. Setelah itu saya menghadapnya lagi di Jakarta beberapa kali dalam suatu pesta. Saya lihat beliau memandangku penuh takjub. Oleh karenanya, saya percaya dia tak akan terlambat bertemu denganku. Tapi seorang direktur di kantornya melaporkan bahwa ia tengah sibuk menghadiri beberapa pertemuan yang tak mungkin berakhir sebelum jam empat sore. Aku fikir lebih baik menunggu. Terbersit dalam fikiranku lebih baik "operasi langsung". Saya tanya direktur kantor kapan sang menteri tiba di pagi hari sebagaimana biasanya? Jawabnya "jam sembilan". Saya tanya: "apakah ada agenda penting atau ikatan dinas di luar departemen esok pagi?" Ia jawab, "tidak ada". Begitulah. Aku berada di depan rumah pak menteri di Jakarta Selatan, tepat jam tujuh pagi. Saya hentikan sedan Fontier depan pintu gerbang. Sang penjaga tersipu malu. Masuk kebun mini, menaiki tangga dari pualam putih menuju villa. Sebelum kutekan bell, pintu dibuka. Alangkah terkejutnya aku, sang menteri sudah berada tepat di depanku. Di sampingnya seorang bocah kecil masih mengenakan seragam sekolah. Ternyata beliau ini orang tua lembut yang peduli pada anak-anak. Ia tak henti-hentinya memandangku hingga mengenalku kembali saat pertama kali kami pernah berjumpa. Dan aku tahu bagaimana aku harus mengambil sikap sempurna: menunduk dan bertata krama. Mungkin tak disangsikan lagi raut mukaku tampak seperti orang yang sedang sakit. Saya sorongkan kepala pada si kecil dan kucium tangannya. Sangat beruntung bocah itu senang sekali padaku. Ia memberikan tangannya dan meraba-raba kumisku. Ia duduk di pangkuan dan kubiarkan ia memainkan kumisku semaunya. Pak menteri terbahak-bahak. Anak itu juga turut tertawa, ia menarik-narik bulu kumisku keras-keras. Pak menteri mencoba menarik anaknya, akupun segera menyahut "biar sajalah, pak. Saya memang senang anak-anak". Bocah itu teriak, "ya ampun. Bapak ini wangi sekali!". Aku sadar Born Own memikat perhatiannya. Aku perhatikan pak menteri memandangku penuh takjub. Suara keras klakson bus sekolah terdengar, saya raih bocah kecil itu dari tangan pak menteri dan aku antar hingga ke pintu, kupanggul dengan kedua tangan dan hingga bus itu pergi dan menghilang dari pandangan. Saya kembali ke kursi menemani pak menteri yang menawari secangkir kopi, bertanya tentang kabar dan keadaanku, apakah aku punya isteri dan anak? Aku musti jawab apa? Meskipun dalam pandangan lahiriah aku terasa menarik bahkan membuat istri dan kedua putriku bangga dengan seorang ayah sepertiku, hanya saja hubungan kami mengkhawatirkan. "Benar pak. Saya memang sudah berkeluarga". "Begini, pak" sambungku. "saya hendak mengajukan masalah yang barangkali membuat Bapak bisa mengolok-olok saya karenanya. Perusahaan, alhamdulillah baik. Tidak ada masalah-masalah yang luar biasa. Kadang-kadang terjadi sufokasi, tapi segera bisa diatasi. Semua tokoh-tokoh bank teman baik saya. Tapi sangat disayangkan sekali pimpinan Majlis memutuskan untuk mengikat semua urusan. Maka mulailah terjadi masalah-masalah yang berkaitan dengannya dengan bank. Ia meminta statistik menulis ulasan, studi dan agenda-agenda. Lantas saya tinggalkan pekerjaan dan pindah ke kuliah perdagangan yang bukan perusahaan dagang". Pak menteri tertawa. "saya mengerti apa yang anda maksud. Lantas apa mau anda?" Saya tersenyum "sebenarnya saya sama sekali tak menginginkan apa-apa selain melanjutkan kerja tanpa harus merusak diri sendiri dengan alasan yang tidak jelas. Tak ada gunanya memegang semua masalah". "tentu saja. Ala kulli hal saya tenang. Saya kenal anda. Saya tahu anda ini manusia kredibel". Saya terharu. Mataku tergenang air bening yang kemudian menetes di pipiku perlahan. Pak menteri mengusap wajahnya dan membiarkanku dengan bebas mengeluarkan sapu tangan untuk menyeka air mataku. Lalu kami keluar bersma-sama. Pak menteri menumpang mobilnya ke kementrian, sedang saya menuju perusahaan. Pak Himawan di kantornya. Saya masuk dan berkata dengan lancang "saya tak dapat tidur sepanjang malam untuk mempersiapkan nomor dan laporan". Dengan suara parau saya kembali mengatakannya "saya adalah seorang pelayan yang taat terhadap semua yang ia perintah. Bila ia tidak lagi memerlukan saya, dengan senang hati saya siap untuk menyiapkan berkas tulisan permohonan pengunduran diri sekarang juga!" Ia menjawab penuh apologi. "O, jangan Rainin. Semua yang kupinta hanya satu. Mari kita sama-sama menghadapi polemik dan masalah yang tengah kita hadapi secara bersama-sama". "tentu, tuan". Saya keluar. Saya semakin yakin bahwa masalah akan semakin menumpuk selama orang ini duduk sebagai presiden eksekutif kami. Sekarang aku ingin keluar menuju para manager perusahaan di ruangan ini. Saya akan meminta mereka agar jangan menyerahkan keterangan atau statistik apapun dan kepada siapapun tanpa seizinku. Bahkan kalau yang meminta itu pak Himawan sendiri. Ini perang namanya. Dan kemenangan pasti ada di pihakku. Sekarang, tetesan cologne membasuk mukaku sebelum kubukakan pintu kamar mandi dan … mandi. [] Buus, 10 September 2001.
|
KISAH TELADAN
Sepenggal kalimat tentang MALNU, klik di sini |
Send mail to
religiusta@softhome.net with
questions or comments about this web site.
|