FALSAFAH PUASA
Taufiq Munir Ahmad
Syaubari
Ternyata bukan hanya umat Muhammad yang berpuasa. Sejarah mencatat, sebelum
kedatangan Muhammad, umat Nabi yang lain diwajibkan berpuasa. Ibnu Katsir dalam
tafsirnya mengatakan, sejak Nabi Nuh hingga Nabi Isa puasa wajib dilakukan tiga
hari setiap bulannya. Bahkan, nabi Adam alaihissalam diperintahkan untuk tidak
memakan buah khuldi, yang ditafsirkan sebagai bentuk puasa pada masa itu.
"Janganlah kamu mendekati pohon ini yang menyebabkan
kamu termasuk orang-orang yang zalim". (Al-Baqarah: 35).
Begitu pula nabi Musa bersama kaumnya berpuasa empat puluh hari.Nabi Isa pun
berpuasa. Dalam Surah Maryam dinyatakan Nabi Zakaria dan Maryam sering
mengamalkan puasa. Nabi Daud alaihissalam sehari berpuasa dan sehari berbuka
pada tiap tahunnya. Nabi Muhammad saw.sendirisebelumdiangkat menjadi Rasul telah
mengamalkan puasa tiga hari setiap bulan dan turut mengamalkan puasa Asyura yang
jatuh pada hari ke 10 bulan Muharram bersama masyarakat Quraisy yang lain. Malah
masyarakat Yahudi yang tinggal di Madinah pada masa itu turut mengamalkan puasa
Asyura.
Begitu pula, binatang dan tumbuh-tumbuhan melakukan puasa demi kelangsungan
hidupnya. Selama mengerami telur, ayam harus berpuasa. Demikian pula ular,
berpuasa baginya untuk menjaga struktur kulitnya agar tetap keras terlindung
dari sengatan matahari dan duri hingga ia tetap mampu melata di bumi. Ulat-ulat
pemakan daun pun berpuasa, jika tidak ia tak kan lagi menjadi kupu-kupu dan
menyerbuk bunga-bunga.
Jika berpuasa merupakan sunnah thobi'iyyah (sunnah kehidupan) sebagai
langkah untuk tetap survive, mengapa manusia tidak? Terlebih lagi jika kewajiban
puasa diembankan kepada umat Islam, tentu saja memikili makna filosofis dan
hikmah tersendiri. Karena, ternyata puasa bukan hanya menahan dari segala
sesuatu yang merugikan diri sendiri atau orang lain, melainkan merefleksikan
diri untuk turut hidup berdampingan dengan orang lain secara harmonis,
memusnahkan kecemburuan sosial serta melibatkan diri dengan sikap tepa selira
dengan menjalin hidup dalam kebersamaan, serta melatih diri untuk selalu peka
terhadap lingkungan. Rahasia-rahasia tersebut ternyata ada pada kalimat terakhir
yang teramat singkat pada ayat 183 surah al-Baqarah. Allah swt memerintahkan: "Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa". (QS. Al-Baqarah:183).
Allah swt mengakhiri ayat tersebut dengan "agar kalian bertakwa". Syekh Musthafa
Shodiq al-Rafi'ie (w. 1356 H/1937 M) dalam bukunya wahy al-Qalam
mentakwil kata "takwa" dengan ittiqa, yakni memproteksi diri dari segala
bentuk nafsu kebinatangan yang menganggap perut besar sebagai agama, dan menjaga
humanisme dan kodrati manusia dari perilaku layaknya binatang. Dengan puasa,
manusia dapat menghindari diri dari bentuk yang merugikan diri sendiri dan orang
lain, sekarang atau nanti. Generasi kini atau esok.
Mazhab sosialisme yang mengalami masa kolapnya di Eropa, tak mampu mengubah,
menambah dan mengurangi jatah perut pengikutnya. Mereka, para sosialisme yang
dianggap sebagai "mazhab buku" tak pelak lagi memandang puasa sebagai "satu-satunya
sistem sosialis yang paling unik dan justeru paling benar"! Bagaimana tidak,
puasa adalah kefakiran secara 'paksa' yang ditentukan oleh syariat agama kepada
seluruh umat (Islam) tanpa pandang bulu. Islam memandang sama derajat manusia,
terutama soal "perut". Mereka yang memiliki dolar, atau yang mempunyai sedikit
rupiah, atau orang yang tak memiliki sepeserpun, tetap merasakan hal yang sama:
lapar dan haus. Jika sholat mampu menghapus citra arogansi individual manusia
diwajibkan bagi insan muslim, haji dapat mengikis perbedaan status sosial dan
derajat umat manusia diwajibkan bagi yang mampu, maka puasa adalah kefakiran
total insan bertakwa yang bertujuan mengetuk sensitifitas manusia dengan metode
amaliah (praktis), bahwasanya kehidupan yang benar berada di balik
kehidupan itu sendiri. Dan kehidupan itu mencapai suatu tahap paripurna manakala
manusia memiliki kesamaan rasa, atau manusia "turut merasakan" bersama, bukan
sebaliknya. Manusia mencapai derajat kesempurnaan (insan kamil) tatkala turut
merasakan sensitifitas satu rasa sakit, bukan turut berebut melampiaskan segala
macam hawa nafsu.
Dari sini puasa memiliki multifungsi. Setidaknya ada tiga fungsi puasa:
tazhib, ta'dib dan tadrib. Puasa adalah sarana untuk mengarahkan (tahzib),
membentuk karakteristik jiwa seseorang (ta'dib), serta medium latihan
untuk berupaya menjadi manusia yang kamil dan paripurna (tadrib), yang
pada esensinya bermuara pada tujuan akhir puasa: takwa. Takwa dalam pengertian
yang lebih umum adalah melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan
segala larangan-Nya. Takwa dan kesalehan sosial adalah dua wajah dari satu
keping mata uang yang sama, mengintegral dan tak dapat dipisahkan.
Ada sejenis kaidah jiwa, bahwasanya "cinta" timbul dari rasa sakit. Di sinilah
letak rahasia besar sosial dari hikmah berpuasa. Dengan jelas dan akurat, Islam
melarang keras segala bentuk makanan, minuman, aktivitas seks, penyakit hati dan
ucapan merasuki perut dan jiwa orang yang berpuasa. Dari lapar dan dahaga,
betapa kita dapat merasakan mereka yang berada di garis kemiskinan, manusia papa
yang berada di kolong jembatan, atau kaum tunawisma yang kerap berselimutkan
dingin di malam hari atau terbakar terik matahari di siang hari. Ini adalah
suatu sistem, cara praktis melatih kasih sayang jiwa dan nurani manusia. Adakah
cara yang paling efektif untuk melatih cinta? Bukankah kita tahu bahwa selalu
ada dua sistem yang saling terkait: yang melihat dan yang buta, yang cendikia
dan yang awam, serta yang teratur dan yang mengejutkan.
Jika cinta antara orang kaya yang lapar terhadap orang miskin yang lapar
tercipta, maka untaian hikmah kemanusiaan di dalam diri menemukan kekuasaannya
sebagai "sang mesias", juru selamat. Orang yang berpunya dan hatinya selalu
diasah dengan puasa, maka telinga jiwanya mendengar suara sang fakir yang
merintih. Ia tidak serta merta mendengar itu sebagai suara mohon pengharapan,
melainkan permohonan akan sesuatu hal yang tidak ada jalan lain untuk disambut,
direngkuh dan direspon akan makna tangisannya itu. Orang berpunya akan memaknai
itu semua atas pengabdian yang tulus, iimaanan wa ihtisaaban. Semua
karena Allah, karena hanya Dia Sang pemilik segala.[]
Bibliografi:
1.
Al-Quran al-Karim,
Departemen Agama.
2.
Musthafa
Shadiq al-Rafi'ie, wahy al-Qalam, Jilid II, maktabah al-Adab, 1936, Kairo.
3. Muhammad Ali al-Shobuni,
Rowa'i al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam,