ARTIKEL
CERPEN
|
| |
Mereka Sudah Sampai Mars,
Sementara Kita?
Neni Utami Adiningsih
Ach... mereka sudah sampai di Mars, sementara kita...? Itulah gumam spontan saya
(dan mungkin juga yang lain) ketika mencermati informasi di harian ini edisi 5
Januari yang mengulas keberhasilan Rover Spirit, sebuah wahana robotik geologis
beroda enam yang berhasil mendarat di planet Mars pada hari Minggu (4/1) pukul
04.35 GMT atau pukul 11.35 WIB. Mengawali perjalanan dari stasiun milik Angkatan
Udara AS di Cape Canaveral, sejak 10 Juni 2003 lalu, wahana tersebut menempuh
perjalanan panjang sejauh 487 juta kilometer selama 7 bulan, sebelum kemudian 'berhenti'
di Gusev Crater, sebuah kawah raksasa, yang ditengarai sebagai bekas danau purba.
Keberhasilan pendaratan Rover Spirit, yang ditengarai dari diterimanya sinyal
dan foto-foto tentang planet merah yang dikirimnya, sontak membuat 250 ilmuwan
dari Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) melompat kegirangan. Bukan reaksi
yang berlebihan bila melihat besarnya upaya yang harus mereka lakukan. Terlebih,
tidak banyak negara yang mampu melakukannya. Selama 40 tahun terakhir,
setidaknya telah ada 30 misi ke Mars. Dari jumlah tersebut hanya 12 misi yang
berhasil.
Bagi Amerika Serikat, sesungguhnya Rover Spirit juga bukan wahana pertama mereka
yang berhasil menjelajah di Mars. Pada tahun 1976 mereka telah mendaratkan
Viking dan di awal 1990-an berhasil mendaratkan Pathfinder. Namun demikian
keberhasilan Rover Spirit ini dirasa penting sebab secara 'diam-diam' saat ini
sedang terjadi persaingan antara Amerika Serikat, Rusia, negara-negara Eropa,
Jepang bahkan Cina untuk menjadi yang paling dominan 'menguasai' Mars.
Berhasilnya Rover Spirit telah membuat Amerika pada posisi dominan. Apalagi
wahana Inggris yang diluncurkan Badan Antariksa Eropa (ESA) yaitu Beagle 2, yang
seharusnya mendarat di Mars pada hari Natal 2003 lalu, ternyata hingga kini
belum mendarat juga. Sebelumnya misi Jepang yang bernama Nozomi, juga gagal
mencapai Mars karena hempasan badai Matahari telah merusakkan peralatan
elektroniknya.
Keberhasilan Rover Spirit tersebut kian menyempurnakan status adidaya yang
dimiliki Amerika Serikat, mulai dari politik, ekonomi, pendidikan, hingga sains,
sementara kita...?
Di saat beberapa negara mulai 'menjelajah' ruang angkasa, hal yang bertolak
belakang justru terjadi di negara kita. Satu-satunya pabrik pesawat terbang yang
pernah kita banggakan, PT Dirgantara Indonesia (Bandung), malahan semakin tidak
jelas eksistensinya. Jangankan menciptakan pesawat terbang canggih (apalagi
pesawat ruang angkasa), untuk membayar karyawan pun sudah tidak mampu, yang pada
gilirannya memicu terjadinya beberapa kali aksi bentrok di antara karyawan PTDI.
Di saat negara lain sudah mulai berpikir bagaimana caranya mengisi hidup ini
dengan kualitas yang semakin baik, kita masih berkutat pada pemikiran bagaimana
untuk hidup pada hari ini. Kita masih bingung dengan setumpuk masalah yang
itu-itu saja, yang membuat kualitas hidup kita kian hari justru semakin memburuk.
Anak-anak yang kelaparan, sakit-sakitan dan tidak berpendidikan. Bencana yang
terjadi setiap saat. Keamanan yang kian tidak terjamin. Kriminalitas yang kian
menyeramkan. Kualitas keluarga yang makin merosot.
Dalam acara yang bertajuk "Gambaran Perekonomian Indonesia 2004" (Jakarta),
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memprediksikan bahwa di tahun 2004
jumlah pengangguran terbuka (sama sekali tak bekerja) akan meningkat menjadi
10,7 juta orang dari sebelumnya (2003) sebesar 9,5 juta. Angka pengangguran itu
bakal membengkak bila ditambah dengan jumlah pengangguran setengah terbuka (bekerja
di bawah 35 jam per bulan) yang diprediksikan berjumlah sekitar 28,93 juta orang,
merupakan 27,5 persen dari total angkatan kerja.
Angka-angka yang lebih mengkhawatirkan dikeluarkan oleh beberapa lembaga kajian
lain. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) misalnya,
mengungkapkan bahwa di tahun 2003 saja jumlah pengangguran terbuka sudah
mencapai 10,3 juta, meningkat 1,2 juta dari tahun sebelumnya (2002). Dalam hal
angka pengangguran setengah terbuka, Pusat Studi bagi Buruh dan Pembangunan (CLDS)
mengungkapkan bahwa di tahun 2003 saja sudah mencapai 40,2 juta jiwa, padahal di
tahun sebelumnya (2002) 'baru' 39 juta jiwa. Dengan kondisi seperti ini, tak
pelak bila kian hari semakin banyak saja penduduk yang masuk kategori miskin.
Kerasnya upaya untuk sekadar bisa hidup pada hari ini, masih diperberat dengan
aneka masalah klise. Ketika musim hujan misalnya, bencana banjir menjadi masalah
yang seolah-olah 'wajib' terjadi. Rasanya belum terasa masuk musim penghujan
bila belum ada berita banjir. Saat ini saja, di mana curah hujan belum mencapai
puncaknya, banjir sudah terjadi di mana-mana. Mulai dari Aceh, Medan, Jambi,
Palembang, Riau, Jakarta, Bekasi, Tangerang, Bandung, Sukabumi, Cilacap, Muria,
Semarang, Malang, Pontianak, Palangkaraya, Palu, Donggala, dan masih banyak lagi.
Dan belum lengkap rasanya bila tidak disertai berita tentang tanah longsor.
Peristiwa terakhir terjadi di Majalengka yang menewaskan seorang ibu beserta
tiga anaknya.
Hal sebaliknyalah yang terjadi ketika musim kemarau tiba. Rasanya belum memasuki
musim kemarau bila belum melihat orang yang berbondong-bondong membawa aneka
wadah ke mata air yang untuk mencapainya perlu waktu berjam-jam. Sementara untuk
mengambil air dari sungai, tidak lagi mungkin seiring dengan semakin banyak dan
parahnya pencemaran yang terjadi. Sementara mengandalkan pada Perusahaan Air
Minum (benarkah?) semakin muskil saja. Bukankah bahan bakunya juga dari mata air
dan sungai. Kalaupun bisa mengambil dari air tanah, semakin sulit mendapatnya.
Saat ini saja, di Kota Bandung diindikasikan bahwa 22 dari 26 kecamatan yang ada
sudah termasuk kategori krisis air. Hal itu ditandai turunnya permukaan air
tanah dalam statis hingga 2-3 meter/tahun (Pikiran Rakyat, 7/1/04)
Bila ditinjau dari sudut ilmu pengetahuan, kondisi di atas mencerminkan bahwa
begitu rendahnya kepedulian dan pemanfaatan iptek dalam keseharian kita. Mengapa
demikian? Mudah saja. Bukankah kedua masalah (banjir dan kekeringan) tersebut
sesungguhnya mudah diprediksikan. Banjir di Sumatera misalnya, mengacu pada
hasil pantauan satelit cuaca, sudah diprediksi akan terjadi, dan jauh-jauh hari
Badan Meteorologi dan Geofisika, sudah memperingatkan hal tersebut. Tapi apa
nyatanya? Tidak ada atensi apalagi upaya yang nyata untuk mengantisipasinya.
Sehingga terjadilah bencana banjir seperti yang saat ini sedang berlangsung.
Pencegahannyapun sesungguhnya juga mudah. Hanya berbekal pada kepedulian akan
keseimbangan lingkungan. Namun di sinilah justru masalahnya. Karena kenyataannya,
masyarakat kita sangat tidak peduli lingkungan. Data terakhir memperlihatkan
bahwa sudah 43 juta hektare hutan yang rusak. Kondisi ini kian diperparah dengan
tingginya laju deforestrasi yang dalam 10 tahun terakhir mencapai 1,6 juta - 2
juta hektare (Pikiran Rakyat, 5/6/02). Ironinya, beberapa hari lalu justru
terjadi aksi kompak dari beberapa gubernur di Kalimantan untuk menolak penentuan
kuota penebangan kayu. Padahal hasil citra satelit memperlihatkan bahwa hutan di
Kalimantan tinggal 20 persen. Tidak aneh bila kian tahun semakin luas saja
daerah di Kalimantan yang terkena banjir.
Sungguh tidak bisa dibayangkan, bagaimana jadinya bangsa ini bila berada di
kawasan yang mempunyai empat musim. Bisa dipastikan keseharian kita hanya
disibukkan upaya 'meng-hadapi' bencana, mulai dari banjir, kekurangan air,
longsor, badai salju hingga tornado. Tidak lagi sempat beraktivitas. Artinya
semakin miskin dan bodoh saja kita.
Di saat negara lain sudah tidak lagi sekadar ingin menambah pengetahuan tentang
luar angkasa, namun sudah memasuki fase ingin mencari jejak kehidupan dan kalau
perlu membuat koloni (di Mars misalnya), bangsa kita masih berkutat 'mencari
jejak korupsi' akibat begitu banyaknya 'koloni' (koruptor) baru yang terbentuk.
Di penghujung tahun 2003, kepolisian berhasil membongkar kasus pembobolan dana
masyarakat senilai Rp 1,7 triliun yang tersimpan di Bank Nasional Indonesia (BNI)
sedangkan kejaksaan dalam waktu yang bersamaan juga sedang mengusut kasus
pembobolan Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang diduga merugikan keuangan negara
ratusan miliar rupiah.
Perbaiki Diri
Yang sangat memprihatinkan, 'koloni' tersebut ditengarai juga 'berhasil' di
bentuk di Departemen Agama, sebuah ranah yang semestinya steril dari koloni
korupsi. Kasus dugaan penyimpangan termutakhir bahkan melibatkan Menteri Agama
Said Agil Husin Al Munawar dan adiknya Fahmi Alwi Al Munawar, berkaitan dengan
pelaksanaan ibadah haji yang kisruh. Kasus ini semakin memperpanjang deretan
kasus KKN yang terjadi di lingkungan Departemen Agama (Suara Pembaruan, 5/1/04).
Dengan kondisi seperti ini, tidaklah aneh bila predikat sebagai salah satu
negara terkorup masih terus melekat. Tahun ini, survei Transparency
Internasional menobatkan Indonesia sebagai negara paling korup nomor enam dari
133 negara.
Sangat gamblang bahwa dalam banyak hal negara kita tertinggal dari negara lain.
Haruskah hal ini dibiarkan? Semestinya tidak. Untuk itu langkah pertama yang
harus dilakukan adalah dengan berbesar hati 'mengakui' bahwa negara kita ini
tertinggal, miskin, bodoh, korupstor, tidak peduli lingkungan dan sebagainya.
Selama ini pengakuan inilah yang tidak ada. Yang ada hanyalah upaya membela diri,
upaya menyalahkan pihak lain serta upaya mema-nipulasi puja-puji dari sana sini.
Dan hasilnya? Kualitas hidup kita yang semakin carut- marut.
Dengan keberanian 'mengakui' kekurangan tersebut, akan timbul 'spirit' bahkan
tuntutan untuk memperbaikinya. Bila kondisi ini sudah terwujud, yakinlah bila
korupsi, kebodohan, ke-miskinan, kerakusan pada lingkungan, dan aneka hal
negatif lain akan dengan mudah dikikis yang pada gilirannya akan memperbaiki
kualitas hidup kita. Ini artinya, tidak tertutup kemungkinan kelak, kitapun akan
bisa mendaratkan 'Spirit' dimanapun yang kita mau, tidak sebatas di Mars. Bila
sudah demikian, dijamin tidak akan ada lagi gumam 'ach... mereka sudah sampai di
Mars, sementara kita...?'
Neni Utami Adiningsih, ibu rumah
tangga yang sangat berminat pada masalah sosial kemasyarakatan. Sarjana Elektro
dari Fak Teknik Universitas Brawijaya Malang, Magister di bidang sistem kendali
(satelit) dari Institut Teknologi Bandung.
Menes,
Tuesday, 24 February 2004
| |
KISAH TELADAN
Sepenggal kalimat tentang MALNU,
klik di sini
|